Syarief Hasan Kritik Suntikan Modal BUMN Capai Rp 106 T Saat Pandemi

 


Jakarta
 - Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menyoroti persetujuan penyertaan modal negara (PMN) kepada 3 BUMN pada tahun 2021 dan 12 BUMN pada tahun 2022 dengan total Rp 106, 34 triliun. Langkah pengajuan dan persetujuan PMN ini dipandang tidak bijak di tengah kesulitan rakyat dalam menghadapi pandemi COVID-19. BESTPROFIT

"Bagaimana bisa pemerintah berbaik hati merealokasi uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk penanganan pandemi kepada beberapa BUMN yang jelas-jelas belum begitu mendesak," ujar dia dalam keterangannya, Selasa (20/7/2021). BEST PROFIT

Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini menyebut dari 13 BUMN yang diajukan mendapat tambahan modal, ada beberapa BUMN yang nyaris setiap tahun mendapatkan suntikan modal dari negara. PT BESTPROFIT

BUMN Karya misalnya, jika digabung pada tahun 2021 dan 2022, maka Waskita Karya akan mendapatkan alokasi sebesar Rp 7,9 triliun, Hutama Karya sebesar Rp 50,35, dan Adhi Karya sejumlah Rp 2 triliun. Jika alokasi ketiga BUMN ini ditotal, maka negara harus mengucurkan dana sebesar Rp 60,26 triliun. BESTPROFIT FUTURES

"Pemerintah memaksa diri untuk membiayai proyek yang skala keekonomiannya rendah di tengah penerimaan negara yang tertekan. Seharusnya pemerintah memiliki perencanaan yang matang dan terukur sehingga infrastruktur yang dibangun, selain berdampak nyata bagi ekonomi rakyat, juga ketahanan fiskal terjaga," kata Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.

Syarief juga menyoroti PMN pada Bank BNI dan Bank BTN masing-masing sejumlah Rp 7 triliun dan Rp 2 triliun adalah langkah yang tidak elok dan mengabaikan sensitivitas publik pada masa pandemi ini. Menurutnya, sepanjang yang kita pahami, kedua bank pemerintah ini dalam kondisi yang baik-baik saja.

Sehingga menjadi aneh jika keduanya diberikan PMN dengan dalih untuk pengembangan bisnis. Bahkan yang paling memprihatinkan, negara dipaksa untuk menalangi skandal Jiwasraya melalui skema injeksi modal pada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sebesar Rp 2 triliun.

Lebih lanjut politisi senior Partai Demokrat ini juga mengingatkan pemerintah bahwa APBN telah sangat tertekan. Hingga akhir Mei 2021, total utang Indonesia telah mencapai Rp 6,418 triliun, dengan rasio debt service terhadap penerimaan (DSR) sebesar 46,77 %, jauh di atas batas aman yang ditetapkan IMF sebesar 25-35 %.

Di sisi lain, indikator kesinambungan fiskal juga telah berada di angka 4,27% yang seharusnya berada di bawah 0%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan juga telah mencapai angka 19,06%, jauh di atas batas aman yang ditetapkan International Debt Relief sebesar 4,6-6,8% dan IMF sebesar 7-10%.

Sementara di sisi lain, dengan dampak pandemi yang semakin memberatkan rakyat, Presiden Jokowi sudah menegaskan mendahulukan penanganan COVID-19 dahulu dibanding ekonomi. Dengan kebijakan ekonomi tersebut, menteri terkait sudah menyalahi perintah Presiden sementara saat ini Pemerintah terlihat tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sosial warganya.

Padahal Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tegas-tegas menyatakan pemerintah pusat bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya selama karantina wilayah. Menurutnya, hal inilah yang membuat publik bertanya, kebijakan pemerintah bersifat anomali dan paradoksal.

Di satu sisi begitu mudahnya menggelontorkan dana PMN untuk BUMN, sementara abai dengan pemenuhan kebutuhan dasar warganya yang merupakan amanat undang-undang.

"Saya sangat heran kebijakan pemerintah dalam meminta PMN ini. Jika keuangan negara dalam kondisi yang sehat dan Indonesia tidak dilanda pandemi, barangkali hal ini masih harus didukung, namun di tengah situasi sulit ini, pemerintah rasanya tidak memiliki kepekaan sosial," ujarnya.

"Padahal banyak warganya di mana mana menjerit atas kebutuhan dasar hidupnya tidak dapat dipenuhi, dan ini yang harus dipenuhi oleh Pemerintah dari APBN sesuai dengan Undang-undang dan diperlakukannya PKPM darurat," pungkas Syarief.

sumber detik

Komentar